Sunday, July 23, 2017

Menyikapi Lingkungan yang Buruk by Ust. Harry Santosa

🍃🍂 *Menyikapi Lingkungan yang Buruk* 🍂🍃

Oleh: *Ust. Harry Santosa*
Sumber: FB Harry Santosa

Seorang bijak mengatakan, "setinggi dan sekokoh apapun kita mendirikan benteng utk menghadang air bah, maka akan roboh juga. Maka ajarilah anak untuk berenang atau membuat perahunya sendiri"

Orang bijak lain mengatakan, "jadilah seperti ikan hidup di laut yang tak pernah asin walau setiap hari berenang di laut. Janganlah menjadi seperti ikan mati, yang menjadi asin hanya direndam air garam beberapa hari".

Apa maknanya?

Hidupkanlah fitrah anak anak kita, maka mereka akan melayari kehidupan ini dengan sebaik baiknya. Fitrah yang hidup dinamis bagai air sungai yang mengalir, bening dan jernih, menyehatkan sekitarnya. Namun sebaliknya, fitrah yang redup ibarat sungai yang tdk mengalir, menjadi tempat sarang nyamuk dan penyakit juga sampah.

Bagaimana teknisnya agar tidak terpapar lingkungan yang buruk?

1. Usia 0-6 tahun, ini masa paling rentan, maka lingkungan sebaiknya cukup steril. Karenanya bersosialisasi terbaik adalah dengan orangtua dan keluarga dekat, dengan asumsi bhw orangtua dan keluarga terdekat mustahil merusak. Bersosialisasi di tahap ini justru dengan menguatkan fitrah individualitasnya, misalnya memuaskan ego sentrisnya, mengakui sifat uniknya dstnya. Anak yang dipenuhi hak hak individualitasnya di usia ini, kelak akan menunaikan kewajiban sosialnya termasuk kokoh fitrah sosialitasnya seperti suka bersosial, suka berbagi, tidak mudah dibully, percaya diri untuk mengendalikan lingkungannya dstnya

2. Usia 7-10 tahun, ini masa dimana anak dianggap sdh mulai kokoh konsepsinya ttg Allah, ttg dirinya, ttg orangtuanya, ttg alam dstnya. Mereka sdh memerlukan sosial yang lebih luas dari di rumah. Maka lingkungan yang tidak terlalu buruk, tidak mengapa, justru baik untuk menguatkan imunitas. Pastikan kedekatan ayah bunda dengan ananda, sehingga selalu menjadi rujukan dalam setiap masalah perilaku yang dipapar oleh lingkungan. Tentu saja jika lingkungan amat buruk, maka wajib hijrah.

3. Usia 11-14 tahun, ini sebenarnya tahap ujian, jadi ananda perlu diuji keimanannya, bakatnya, gairah belajarnya dll dengan dibenturkan pada kehidupan nyata. Latih mereka utk banyak idea atau inovatif, kemauan menjadi da'i (penyeru kebenaran), menjadi problem solver (nadziro) sekaligus solution maker (bashiro) dalam lingkungan yang seperti apapun. Ini tahap tega dengan membenturkan pd kehidupan. Ayahlah sang raja tega, namun Bundalah sang pembasuh luka.

Sulit rasanya bagi Ummat ini melahirkan pemimpin yang solutif, jika selalu memberikan lingkungan yang steril, mengirimkan ke boarding school dengan maksud menyembunyikan anak dari realitas sosial Ummat ini.

Rasulullah SAW bahkan memberi ucapan selamat kepada para Ghuroba (almarhum M.Natsir menyebutnya Perintis) yaitu mereka yang memperbaiki sunnah Beliau di tengah kerusakan Ummatnya.

Dalam banyak kasus, pada tahap ini, anak anak yang sudah mantab mengenal fitrah dirinya, maka tiada kekhawatiran dengannya. Misalnya internet dan gadget, alih alih dimusuhi, baginya hanyalah perangkat untuk mengakses banyak pengetahuan yang relevan untuk inovasi, berdiskusi dengan Murobby dan Maestro, membangun jaringan dan berkolaborasi, memasarkan karya atau product dsbnya.

Sebagai catatan, 90% masalah anak sesungguhnya bukan dari luar rumah, justru dari dalam rumah. Obsesi orangtua, kecanduan menggegas dan menitipkan anak dsbnya menjadi penyebab cideranya atau menyimpangnya fitrah ananda.

Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

No comments:

Post a Comment