Saturday, June 2, 2018

Makna Rasa Diawasi

Dialah Fadhalah bin Umair Al- Laitsi, pemuda yang Allah bongkar rahasia hatinya saat ingin menebas kepala Rasulullah. Merasa terganggu dengan suara adzan yang dikumandangkan bilal di sekitar Ka'bah, nabi memanggil Fadhalah "Apa yang berkecamuk di hatimu?"

Setelah itu cahaya Allah telah menembus hatinya, membuatnya minta ampunan kepada Allah, dan menyatakan diri untuk berserah pada Tuhan Muhammad, masuk Islam.

Siapa yang memberi tahu Rasulullah saat itu, kecuali Allah?


Rasanya tak banyak manusia yang sempat punya keinginan semacam itu, betapapun kesalnya kita pada suatu hal. Menghilangkan nyawa seseorang yang kita anggap membahayakan persatuan umat (menurutnya). Orang semacam itu,  tentu menurut kebanyakan orang diantara kita,  adalah kejahatan yang tak mungkin kita lakukan. 

Lalu kita merasa diri lebih baik. Merasa aman dari dosa. Merasa pantas menghakimi orang lain.  Ah,  berhentilah. 

*

Makna dari kehidupan seseorang berada pada titik akhirnya,  apakah ia beriman dan terpaut pada Allah atau tidak. Orang jahat sekalipun,  ketika pada akhirnya tersungkur taubat dan mohon ampunan pada Allah,  yakin akan pengawasan Allah,  akan menjadi hamba yang mulia. 


Ada hal yang banyak dari kita melalaikannya. 
Kita mungkin beribadah dan beramal seperti biasanya, tapi apakah sudah nyata dalam diri kita merasakan bahwa Allah selalu mengawasi kita? 

"Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibicarakan hatinya (dengan rahasia)  dan Kami lebih dekat kepadanya daripada (kedekatan)  urat lehernya."
Qs Qaaf:16

Dan di sisi Nya kunci kunci segala hal ghaib,  tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia,  dan Dia mengetahui apa yang terjadi di daratan dan di laut,  dan tidak ada sehelai daun pub yang rontok melainkan Dia mengetahuinya,  dan tidak ada sebutir biji pun dibagian bumi paling gelap (bawah),  dan tidak ada satupun tanaman basah dan tidak ada satupun tanaman kering melainkan (semuanya)  ada di kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)  
QS Al-An'am : 59

Merasakan adanya pengawasan Allah tak hanya kita perlukan saat berada di tempat tempat ibadah atau di keramaian.  Sudah kah kita merasakannya saat kita sedang sendirian di rumah?  Saat di pasar?  Di waktu bekerja?  Di waktu berniaga?  Di waktu luang kita?  

Sudahkah rasa itu membuat kita terhindar dari melakukan perbuatan sia sia, bahkan dosa? 

Sudahkah kita merasakannya bahkan dalam shalat kita?  Bukankah terkadang shalat kita pun hanya sekedar penggugur kewajiban kita,  yang dilakukan dengan tanpa hadirnya hati? 

Apakah kita termasuk orang orang yang Allah katakan lalai dalam shalatnya? 

Lalu, yang mana bekal kita? 

Ahad,  3 Juni 2018
Hajah Sofyamarwa R. 




No comments:

Post a Comment